Tugas Penulisan 5 sampai 8 Aspek Hukum dalam Ekonomi
Nama :
Mike Noviana
Kelas : 2EB19
Npm :
24215174
ASPEK HUKUM DAN
EKONOMI
TULISAN KE 5
Pengaruh
Fundamental Keuangan, Tingkat Bunga dan Tingkat Inflasi terhadap Pergerakan
Harga Saham
Analisis
yang telah dilakukan terhadap hasil
studi ini memberikan beberapa kesimpulan, yang meliputi:
Investasi
saham di pasar modal membutuhkan beberapa informasi untuk membantu para
investor dalam melakukan pengambilan keputusan. Pasar modal yang efisien
merupakan pasar yang mencerminkan semua informasi yang relevan terhadap harga
sekuritas saham. Informasi relevan tersebut dapat di peroleh dari kinerja
fundamental keuangan emiten dan kondisi makro ekonomi. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh secara simultan maupun
parsial antara fundamental keuangan emiten diwakili oleh EPS, PER, BVS, PBV,
ROE sementara kondisi ekonomi diwakili tingkat suku bunga SBI dan tingkat
inflasi dihubungkan dengan pergerakan harga saham perusahaan semen periode 2006
– 2008 secara kuartalan.
Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa Fundamental, suku bunga, inflasi mempunyai
pengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perusahaan semen
sedangkan Secara parsial hanya variabel PBV mempunyai pengaruh secara
signifikan.
1. Berdasarkan
pengujian secara bersama-sama, diketahui bahwa ketujuh variabel bebas (EPS,
PER, BVS, PBV, ROE, tingkat bunga SBI, dan tingkat inflasi) memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap harga saham.
2. Berdasarkan
pengujian secara parsial,diketahui bahwa kedua variabel variabel bebas yaitu
hanya PBV yang memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham, pada
perusahaan-perusahaan Semen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Penelitian
untuk berikutnya diharapkan memasukkan variabel-variabel independen lain yang
berpengaruh terhadap variabel dependen, yang belum dimasukkan dalam model
penelitian ini. Karena masih terdapat 54,9 % variabel independen lain yang
tidak terdapat dalam model ini. Seperti faktor nilai tukar rupiah terhadap mata
uang keras, pembagian dividend, kebijakan BEJ dan lain-lain.
TULISAN KE 6
Sanksi Anti
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan
Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk
ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan
izin usaha; atau
b. larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak
lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
TULISAN KE 7
Sanksi Pidana
UU Perlindungan Konsumen
Masyarakat
boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya
yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak
sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU
Perlindungan Konsumen ini.
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut
telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari
ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh
para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha
untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota
pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut
secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun
1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti,
“barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis
batal demi hukum.
Namun
dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula
tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping
pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah
tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal
harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut
jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana
pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam
kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu
banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )
TULISAN KE 8
Aspek Hukum
Transaksi (Perdagangan) Melalui Media Elektronik (E-Commerce) Di Era Global :
Suatu Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Sebagai
fenomena yang relatif baru, bertransaksi bisnis dengan menggunakan teknologi
elektronik (e-commerce) memang menawarkan kemudahan. Namun memanfaatkan
teknologi sebagai fondasi aktivitas
bisnis memerlukan tindakan dan pengaturan yang terencana agar berbagai dampak yang menyertainya dapat dikenali serta
diatasi.
Dari apa yang
telah diaparkan di atas, sebagai suatu kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa :
1.
Perkembangan teknologi informasi sehubungan
dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya
aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui
media elektronik (transaksi e-commerce).
Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi
hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat
terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan
aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda
dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam
transaksi e-commerce? Demikian pula
dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures). Bila hal demikian tidak dapat diterima,
tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan
dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.
2.
Secara khusus pranata atau pengaturan hukum
yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di
Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan
konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan
Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari
transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat
transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.
Secara
umum demi memberikan perlindungan kepada para pihak dalam transaksi e-commerce
serta secara khusus memberikan perlidungan terhadap konsumen dalam transaksi
e-commerce, perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk di dalamnya
ketentuan mengenai validitas kontrak yang dilakukan secara elektronik sehingga
ketentuan tentang transaksi e-commerce dapat tertampung. Dengan pengaturan tersebut, hak-hak konsumen
sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam
melakukan transaksi e-commerce dapat lebih terjamin.
Selain
itu, untuk konsumen supaya bertindak lebih cermat dan berhati-hati dalam
bertransaksi secara elektronik (transaski e-commerce), guna menghindarkan diri
dari kerugian. Posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya,
harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran,
promosi, serta iklan suatu barang
dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan harus diwaspadai, karena
dimungkinkan adanya iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat, karena tidak dapatnya konsumen
melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan.
SUMBER :
Komentar
Posting Komentar