Perekonomian Indonesia Minggu ke 2 dan 3
Nama kelompok :
Arum Febriana (21215057)
Mike Noviana (24215174)
Widya Ani (27215135)
Kelas : 1EB21
Tugas 2. Minggu 2 dan
minggu 3 ( sejarah Ekonomi Indonesia)
1. Sejarah prakolonialisme
2. Sistem monopoli VOC
3. Sistem tanam paksa
4. Sistem ekonomi kapitalis liberal
5. Era pendudukan jepang
6. Cita-cita ekonomi merdeka
7. Ekonomi indonesia setiap periode
pemerintahan orde lama, baru, dan reformasi
1.
SEJARAH PRA KOLONIALISME
Yang
dimaksud dengan pra-kolonialisme adalah masa-masa berdirinya kerajaan-kerajaan
di wilayah Nusantara ( sekitar abad ke-5) sampai sebelum masa masuknya
penjajahan yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di
wilayah nusantara ( sekitar abad ke-15 sampai 17). Pada masa itu RI belum
berdiri. Daerah-daerah umumnya dipimpin oleh kerajaan-kerajaan.
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui
selat Malaka ke India. Dari sisni adayang ke teluk Persia, melalui Suriah ke
laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga kelaut Tengah
(Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada
abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan
daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan
di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat
kapitalisme politik, dimana pengaruh raj-raja dalam perdagangan itu sangat
besar. Misalnya dimasa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyak kapal yang ‘mampir’.
Penggunaan
uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal dimasa itu, namaun
pemakaian uang baru dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis
yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas,
karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan
Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus
diimbangi denga ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan
suatu negeri dinilai dari luas wilayahnya, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan di Sumatera
bersumber dari perniagaan, sedangkan dijawa, kedua hal itu bersumber dari
pertanian dan perniagaan. Dimasa pra kolonialo, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia.
Dengan
kata lain, sistem pemerintah masih berbentuk feudal. Kegiatan perekonomian
adalah :
a. Pertanian, umumnya monokultura, misalnya
padi di Jawa.
b. Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil
laut dan hasil tambang.
c. Perdagangan besar antar pulau dan antar
bangsa yang sangat mengandalkan jalur laut.
2.
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda
yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di
Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda
kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang
didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC
(Inggris). Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,
yang antara lain meliputi: :
a.
Hak mencetak uang
b.
Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c.
Hak menyatakan perang dan damai
d.
Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e.
Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak
itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun
walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai
VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi
ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah.
Kota-kota
dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin
monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun system pasokan
kebutuhankebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan
VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC)
dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu.
Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara
lain dengan diadakannya pembatasan jumlah
tanaman
rempahrempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie
(pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada
umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari
pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu
juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton,
melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton. Namun, berlawanan dengan
kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi.
Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai
komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan
dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai
tahun 1870-an.
Pada
tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda.
Kegagalan
itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh:
A. Peperangan yang terus-menerus dilakukan
oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
B. Penggunaan tentara sewaan membutuhkan
biaya besar.
C. Korupsi yang dilakukan pegawai VOC
sendiri.
D. Pembagian dividen kepada para pemegang
saham, walaupun kas defisit. Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik
Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem
keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa
(Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai
puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa
VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf
mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
3.
SISTEM TANAM PAKSA
Cultuurstelstel
(sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den
Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada
permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan
produkproduk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh,
kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi
amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi
(monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat
perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem
ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan
uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan
para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram--yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai
tugas
dengan tidak mendapat imbalan--dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
masuk gudang). Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat
memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih
diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara
menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli
Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf
hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa
menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini
juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin
dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan
teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari
keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima
sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian
lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat,
sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan
kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
4. Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan
dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke
arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan
ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur
tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang
tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak
lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada:
A. Keberadaan pemerintah Hindia Belanda
sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai
golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
B. Prinsip keuntungan absolut: Bila di
suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan,
maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor
produksi ke tempat tersebut.
C. Laissez faire laissez passer,
perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda
masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya,
sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah
menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan
layak.
5. ERA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pemerintah
militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung
gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan
besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot
tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena
produksi bahan
makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas
pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi
kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem
sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna
mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan
perang Pasifik.
6.
CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sudah 68
tahun bangsa Indonesia merdeka. Apakah tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang
diperjuangkan para pahlawan yang menebus kemerdekaan dengan keringat, air mata,
darah, dan bahkan jiwa raganya sudah tercapai?
Apakah kita masih dalam jalur dalam meniti cita-cita perjuangan mereka?
Ataukah kita telah tega mengkhianati perjuangan dan cita-cita perjuangan mereka
dengan menyelewengkan amanat dan kepercayaan yang diberikan? Peringatan hari
kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya dirayakan dengan sukacita.
Rakyat
Indonesia sudah terbiasa mengisinya dengan berbagai perlombaan dan hiburan
serta pesta rakyat yang mengundang kegembiraan dan keceriaan, karena
kemerdekaan itu memang merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah SWT untuk
bangsa Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan para pejabat dan
penyelenggara negara.
Apa
sebenarnya tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia? Jika kita buka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada bagian Pembukaan
alinea IV disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan dan dibentuknya Negara Republik
Indonesia ada empat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang
alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung
Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup
melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya
duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta.
(Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta,
kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis
besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi
kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur.
Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita
tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan
penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas
rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh
rakyat.
Supaya cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran
negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi
Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan
sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik
Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan
kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran
negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan
rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal
prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai
usaha bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara
dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus
Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal
33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh
kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu,
pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara
langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun
kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus
melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa
perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi
“kuli” di negara-negara lain.
Sungguh luar biasa tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang dirumuskan para
pendiri negara ini. Tujuan itu mereka susun dalam kalimat yang begitu
sederhana, namun jelas dan tegas serta telah mencakup semua hal, baik politik,
ekonomi, sosial, maupun pertahanan dan keamanan. Pada poin pertama, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terkandung arti keinginan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa
kecuali.
Perlindungan di sini juga harus dimaknai dalam arti luas, bukan saja
perlindungan secara fisik dan menciptakan keamanan, tetapi juga perlindungan
hukum, dan kedaulatan negara. Coba kita renungkan apakah tujuan ini sudah
tercapai? Kita jangan berbicara soal statistik di sini, karena kalau masih ada
satu orang saja warga negara Indonesia yang tidak terlindungi berarti tujuan
tersebut belum tercapai.
Memajukan kesejahteraan umum adalah tujuan dan cita-cita kemerdekaan untuk
aspek sosial ekonomi. Tanpa kecuali negara harus mengupayakan kesejahteraan
kepada seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan di sini dapat diartikan sebagai
kondisi yang cukup sandang, pangan dan papan, serta terjaminnya fasilitas
kesehatan bagi rakyat Indonesia Artinya pemerintah harus mengupayakan seluruh
sumber daya dan kekayaan yang dimiliki negara untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jika ini sudah tercapai, tidak akan lagi kita temui gelandangan dan pengemis
yang berkeliaran di jalan, orang yang hidup di antara tumpukan sampah dan
bernaung di bawah jembatan, angka kriminalitas juga akan turun dan seterusnya.
Bagaimana kondisi itu saat ini, saya kira semua sudah tahu jawabannya. Kembali
angka statistik bukanlah alasan dan jawaban yang bisa diargumentasikan di sini.
7.
PERIODE
KEMERDEKAAN
1)
Periode Ode Lama (ORLA) : periode 1945-1966
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi
keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan:
·
Inflasi
yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces
for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan
teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat
harga.
·
Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negri RI.
·
Kas
negara kosong.
·
Eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
·
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade
dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia.
·
Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi
dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi
perkebunan-perkebunan.
·
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
·
Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948. yaitu dengan mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
·
Kasimo
Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan denganı beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian
akan membaik
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut
masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teoriteori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin,
yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet
Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet
Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan
kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan
dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
d) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat
dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya
diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain:
a. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus
1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi
Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi 25.000
b. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)
untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
c. Devaluasi yang dilakukan pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar
yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan
Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi
dari pilihan menggunakan system demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun
bidang-bidang lain.
2)
Periode Orde Baru (ORBA) : periode Maret 1966 - Mei 1998
Orde baru
memiliki perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak barat
dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan Repelita,
dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi
di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi,
mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,
termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana
Pelita secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh
negaranegara Barat.
Tujuan jangka
panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru:
·
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar,
yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan
efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja
dan defisit neraca pembayaran.
·
Terjadi
perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat
dari perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sektor industri.
Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini menunjukkan
terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari negara agraris
menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat
pada paruh dekade 8 an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi di
sektor moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi menyebabkan
terjadinya pergeseran dari semula tersentralisasi menjadi desentralisasi dan
peranan sektor swasta semakin besar. Pada level meso (tengah) dan mikro,
pembangunan tidak terlalu berhasil : jumlah kemiskinan tinggi, kesenjangan
ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara umum dalam Orde Baru terjadi perubahan
orientasi kebijakan ekonomi yang semula bersifat tertutup di Orde Lama menjadi
terbuka pada Orde Baru
Perkembangan
ekonomi masa Orde Baru lebih baik dari Orde Lama disebabkan oleh
beberapa faktor:
1. Kemauan Politik yang kuat dari
pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan perubahan kondisi
ekonomi.
2. Stabilitas politik dan ekonomi yang
lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Baru berhasil menekan
inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok masyarakat serta
meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan
satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3. Sumber daya manusia yang lebih baik. SDM
di masa ORBA memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan
dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro
secara baik.
4. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang
berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu khususnya dalam mendapatkan
pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi serta ilmu pengetahuan.
5. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang
lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat produksi minyak dan harganya yang
meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era ORBA khususnya
setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa ORLA.
Pemerintahan
Transisi, ciri-cirinya :
Diawali dengan
melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997,
sehingga para
investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah
sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah).
Hal ini
menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus
melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang
intervensi.
Namun hal itu
tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah thd USD. Pada
Oktober 1997,
pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada IMF. Paket bantuan I
sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan tersebut
diikuti dengan
persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai
tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah.
Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter of
Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup ekonomi
makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi
struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran berimbang
pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan subsidi BBM
dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar, serta
peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat
lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum Tambahan tentang
Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK). Memorandum tambahan itu antara lain:
Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah
inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perbankan
nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian utang luar
negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk
rakyat kecil
sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik.
Pada periode ini
masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi
gerakan
mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang
merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi
karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah
dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini
masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata
dalam perekonomian.
3)
Periode Orde Reformasi: Periode 1998-Sekarang
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver
yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
Kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid
Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah
yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi
antara lain :
·
Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
·
Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga
direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada
gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat
banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan
kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau
dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan
yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang
investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan
para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan
faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi
investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undangundang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
Komentar
Posting Komentar