Perekonomian Indonesia Minggu Ke 4
Nama Kelompok :
Arum Febriana (21215057)
Mike Noviana (24215174)
Widya Ani (27215135)
Kelas : 1EB21
Tugas 3. Minggu 4 (
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia)
1. Masalah sumber daya alam struktur
penguasaan SDA
2. Kebijakan sumber daya alam struktur
penguasaan SDA
3. Dominasi SDA di Indonesia
1.
MASALAH SUMBER DAYA ALAM STRUKTUR
PENGUASAAN SDA
Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan
sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak
besar bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin
besar. Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:
1.
Terus menurunnya
kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya
dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung
lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara
dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun,
bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju
deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat
menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya
jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara ASEAN
lainnya.
2.
Kerusakan DAS (Daerah
Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang
luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS berkondisi
kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut
sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan sekitar
282 DAS dalam kondisi kritis. Kerusakan
DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara
hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan mengancam
keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang
sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah
tangga.
3.
Habitat ekosistem pesisir dan
laut semakin rusak. Kerusakan
habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di
wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau
Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove
serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah
mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity).
Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah
yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya
erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai,
pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan
pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan
pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan,
dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi
yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar,
bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di
beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat
memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari
darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran
juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan
laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara
praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing)
serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang mmemperparah kondisi habitat ekosistem
pesisir dan laut.
4.
Citra pertambangan yang merusak
lingkungan. Sifat
usaha pertambangan, khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu
merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam
skala besar akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak
buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan
cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya pertambangan
tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan.
5.
Tingginya ancaman terhadap
keanekaragaman hayati (biodiversity). Sampai saat ini 90 jenis flora
dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orang-utan di
Kalimantan menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900 menjadi 20.000 ekor
di tahun 2002. Hutan bakau di Jawa dan Kalimantan menyusut tajam, disertai
rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada
posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for
the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli
Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang
dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman utama bagi
keanekaragaman hayati di Indonesia.
6.
Pencemaran air semakin meningkat.
Penelitian
di 20 sungai Jawa Barat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical
Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)-nya melebihi ambang
batas. Indikasi serupa terjadi pula di DAS Brantas, ditambah dengan tingginya
kandungan amoniak. Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga merupakan
penyumbang terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau,
situ, dan perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.
Umumnya disebabkan karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan (blooming)
sehingga menyebabkan terjadinya timbunan senyawa phospat yang berlebihan.
Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan
tingginya sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah,
khususnya di perkotaan, juga mengkhawatirkan karena terjadinya intrusi air laut
dan banyak ditemukan bakteri Escherichia Coli dan logam berat yang
melebihi ambang batas.
7.
Kualitas udara, khususnya di
kota-kota besar, semakin menurun. Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup
mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara
bersih selama 22 sampai 62 hari saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian
serius adalah partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida
(NOx). Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan dan
industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal ini
juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya
lapisan ozon di stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons
(CFCs), halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa
digunakan sebagai refrigerant mesin penyejuk udara, lemari es, spray,
dan foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon (BPO)
atau ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal
Protocol dan Kyoto Protocol yang telah diratifikasi untuk ikut serta
mengurangi penggunaan BPO tersebut, namun demikian sulit dilaksanakan karena
bahan penggantinya masih langka dan harganya relatif mahal.
Selain
permasalahan tersebut di atas, juga terdapat berbagai permasalahan lain yang
pada akhir-akhir ini justru sangat menonjol, termasuk masalah-masalah sebagai
dampak dari bencana dan permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi karena
fenomena alam yang bersifat musiman.
8.
Sistem pengelolaan hutan secara
berkelanjutan belum optimal dilaksanakan. Sejak tahun 1970-an hutan telah
dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi melalui ekspor log maupun industri berbasis
kehutanan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan
hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa
mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah
daerah. Saat ini sekitar 28 juta hektar hutan produksi pengelolaannya dikuasai
oleh 267 perusahaan HPH atau rata-rata 105.000 hektar per HPH. Kontrol sosial
tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan
jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan
hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest
management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara
bersamaan.
9.
Pembagian wewenang dan tanggung
jawab pengelolaan hutan belum jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan
pusat–daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola
hubungan Pemerintah Pusat–Propinsi–Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang
diatur dalam peraturan perundang-undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya.
Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih
menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan hutan secara ideal, sementara
aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak terakomodasi secara jelas.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan
revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah menegaskan hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan, tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, bagi hasil, penyerasian lingkungan dan
tata ruang, masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut.
10. Rendahnya
kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana,
kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila
dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini
mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran
hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Sebagai contoh, jumlah polisi
hutan secara nasional adalah 8.108 orang. Hal ini berarti satu orang polisi
hutan harus menjaga sekitar 14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan
prasarana yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak memadai karena kondisi
yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar (untuk kawasan
konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan konservasi di luar Jawa sekitar
5.000 hektar. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta
mengamankan hutan juga sangat rendah.
11.
Lemahnya
penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan
kayu.
Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum
mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan.
Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging),
penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi.
Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan
hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar per tahun, melebihi luas hutan yang
ditebang berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang
lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat
masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses
masyarakat terhadap sumber daya hutan.
12. Belum
berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan
jasa lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air,
keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan
kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga
sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang
diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih
besar dari nilai produk kayunya. Diperkirakan nilai hasil hutan kayu hanya
sekitar 7 persen dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan
non-kayu dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan
mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata
alam, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem
pemanfaatannya belum berkembang secara maksimal.
13. Belum
terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga. Wilayah laut ZEEI (Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan
Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan
Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi
perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur), Malaysia, dan Timor
Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang
pengelolaan wilayah laut, termasuk lembaga yang memiliki otorita mengatur batas
wilayah dengan negara tetangga. Di samping itu, kemampuan diplomasi Indonesia
dalam kancah internasional juga masih lemah, sehingga merupakan kendala
tersendiri yang perlu diatasi.
14. Potensi
kelautan belum didayagunakan secara optimal. Sektor kelautan menyumbang
sekitar 20 persen dari PDB nasional (2002). Kontribusi terbesar berasal dari
migas, diikuti industri maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata bahari,
bangunan laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun demikian, bila dibandingkan dengan
potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap secara optimal. Kebijakan
pembangunan nasional selama ini cenderung terlalu berorientasi ke wilayah
daratan, sehingga alokasi sumber daya tidak dilakukan secara seimbang dalam
mendukung pembangunan antara wilayah darat dan laut.
15. Pengelolaan
pulau-pulau kecil belum optimal. Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau
kecil, tetapi lebih dari tiga dasawarsa terakhir pulau-pulau kecil tersebut
kurang atau tidak memperoleh perhatian dan atau tersentuh kegiatan pembangunan.
Pulau kecil, yang didefinisikan sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000
km² yang umumnya jumlah penduduknya kurang dari 200.000 jiwa, sangat rentan
terhadap perubahan alam karena daya dukung lingkungannya sangat terbatas dan
cenderung mempunyai spesies endemik yang tinggi. Ciri lainnya adalah jenis
kegiatan pembangunan yang ada bersifat merusak lingkungan pulau itu sendiri
atau “memarjinalkan” penduduk lokal. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
adanya beberapa pulau kecil yang berpotensi memiliki konflik dengan pihak
asing, terutama pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan. Pada saat
ini terdapat 92 pulau-pulau kecil menjadi base point (titik pangkal)
perbatasan wilayah RI dengan 10 negara-negara tetangga. Sampai sekarang baru
dengan satu negara, yaitu Australia telah dibuat perjanjian yang menetapkan
pulau-pulau kecil Nusantara sebagai titik pangkal batas wilayah. Oleh karena
itu, diperlukan perhatian khusus dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang ada,
yang berbeda pola pendekatannya dengan pulau-pulau besar lainnya. Pada saat ini
telah tersusun rancangan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas)
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang integratif sebagai dasar pengembangannya.
16.
Merebaknya pencurian ikan dan
pola penangkapan ikan yang merusak. Pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh
kapal-kapal domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di
perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
menyebabkan hilangnya sumber daya ikan sekitar 1-1,5 juta ton per tahun dengan
nilai kerugian negara sekitar US$ 2 milyar. Hal ini diperburuk oleh upaya
pengendalian dan pengawasan yang belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat
penegakan hukum di laut. Selain itu, jumlah dan kapasitas petugas pengawas,
sistem pengawasan, partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi
terkait juga masih lemah. Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive
fishing) seperti penggunaan bahan peledak dan racun (potasium) masih
banyak terjadi, yang dipicu oleh meningkatnya permintaan ikan karang dari luar
negeri dengan harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya
ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat penting.
17. Sistem
mitigasi bencana alam belum dikembangkan. Banyak wilayah Indonesia yang
rentan terhadap bencana alam. Secara geografis Indonesia terletak di atas tiga
lempeng aktif besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Disamping itu, juga merupakan wilayah pertemuan arus panas dan dingin yang
berada di sekitar Laut Banda dan Arafura. Kondisi ini, dari satu sisi,
menggambarkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap bencana alam, seperti
gempa bumi, tsunami dan taufan. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan
sistem kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam
tersebut akan mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur
prasarana publik yang telah dibangun; seperti yang terjadi di NAD, Sumatra
Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam jangka menengah ini, pengembangan
kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara lain
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu
mengurangi dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman
akan “kawasan rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu
dipetakan secara baik, dan rencana tata ruang yang disusun dengan
memperhitungkan kawasan rawan bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi,
serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal.
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan
mangrove dan terumbu karang) di wilayah pesisir.
18. Terjadinya
penurunan kontribusi migas dan hasil tambang pada penerimaan negara. Penerimaan migas pada
tahun 1996 pernah mencapai 43 persen dari APBN, dan pada tahun 2003 menurun
menjadi 22,9 persen. Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Cadangan minyak bumi dewasa ini sekitar 5,8 miliar barel
dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun. Apabila cadangan baru tidak
ditemukan dan tingkat pengurasan (recovery rate) tidak bertambah, maka sebelas
tahun lagi cadangan minyak kita akan habis. Cadangan gas-bumi-terbukti tahun
2002 sebesar 90 TCF (trillion cubic feet) baru dimanfaatkan setiap tahun 2,9
TCF saja. Rendahnya tingkat pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing
Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang selalu
siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan setelah ada
kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi supply readiness Indonesia
kurang bersaing. Pertambangan mineral seperti timah, nikel, bauksit, tembaga,
perak, emas, dan batubara tetap memberikan kontribusi walaupun penerimaannya
cenderung menurun. Penerimaan negara dari pertambangan pada tahun 2001 sebesar
Rp2,3 triliun, tahun 2002 menjadi Rp1,4 triliun, dan tahun 2003 Rp1,5 triliun.
19. Ketidakpastian
hukum di bidang pertambangan. Hal
ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan.
Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena
banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi,
pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan
usaha pertambangan yang harus dilalui.
20. Tingginya
tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah secara terpadu
dan sistematis. Meningkatnya
pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada
peningkatan pencemaran akibat limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan.
Untuk limbah padat, hal ini membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya
tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) umur operasi TPA rata-rata
tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu,
sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu
saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan
mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di badan-badan air
akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga memerlukan upaya
pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sektor terkait. Semakin tingginya
intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya
kualitas udara, terutama di perkotaan. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan
dan pengendalian gas buang (emisi), baik industri maupun transportasi
diperlukan sebagai upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. Selain itu,
limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit,
industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius.
Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel Convention, saat ini hanya
ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya
biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi
kendala tersendiri dalam upaya mengurangi dampak negatif limbah terutama limbah
B3 terhadap lingkungan.
21. Adaptasi
kebijakan terhadap perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global
(global warming) belum dilaksanakan. Fenomena kekeringan (El Niño) dan
banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an
membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu
rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6 °C akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse
gases) seperti CO2, CH4, dan NOx dari negara-negara industri
maju. Sampai tahun 2100 mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan
akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier
dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global
berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena
dampaknya. Oleh karena itu adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak
dilakukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan,
pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim
memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto
Protocol, di mana negara-negara industri maju dapat ‘menurunkan emisinya’
melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di
negara berkembang seperti Indonesia.
22. Alternatif
pendanaan lingkungan belum dikembangkan. Alokasi dana pemerintah untuk
sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana
pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap
tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif
harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for
nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund
Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena
sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk
mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain itu, perlu
dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber pendanaan dalam
negeri dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan pendanaan melalui
lembaga keuangan maupun lembaga independen lainnya.
23. Isu
lingkungan global belum dipahami dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan
daerah. Tumbuhnya
kesadaran global tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin
buruk, telah mendesak seluruh negara untuk merubah paradigma pembangunannya,
dari ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan
154 perjanjian internasional dan multilateral agreement yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan isu lingkungan global. Indonesia telah
meratifikasi 14 perjanjian internasional di bidang lingkungan tetapi
sosialisasi, pelaksanaan dan penaatan terhadap perjanjian internasional
tersebut kurang mendapat perhatian sehingga pemanfaatannya untuk kepentingan
nasional belum dirasakan secara maksimal. Selain itu, masukan Indonesia untuk
memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai konvensi internasional juga
masih terbatas mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya manusia,
serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut. Dengan
aktifnya Indonesia pada perjanjian perdagangan baik regional seperti AFTA dan
APEC atau global seperti WTO, maka pembangunan nasional dan daerah perlu
mengantisipasi dampaknya terhadap lingkungan.
24. Belum
harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup. Hukum lingkungan atau peraturan
perundangan di bidang lingkungan hidup masih kurang bersinergi dengan peraturan
perundangan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan
bahkan saling bertentangan baik peraturan perundangan yang ada baik di tingkat
nasional maupun peraturan perundangan daerah. Untuk memberikan penguatan
sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka
pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.
25. Masih rendahnya kesadaran masyarakat
dalam pemeliharaan lingkungan. Masyarakat umumnya
menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang
tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam
lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian
pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung
dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan,
akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya
alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya
berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.
2. KEBIJAKAN SUMBER DAYA
ALAM STRUKTUR PENGUASAAN SDA
Arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi
perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi
manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, pengembangan
peraturan perundangan lingkungan, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan
cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan
memperhatikan kesetaraan gender. Melalui arah kebijakan ini diharapkan sumber
daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan
hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Secara
lebih rinci arah kebijakan yang ditempuh dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah sebagai berikut.
Pembangunan
kehutanan diarahkan untuk:
1. Memperbaiki sistem pengelolaan hutan dengan
meningkatkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan,
meningkatkan koordinasi dan penguatan kelembagaan dalam wilayah DAS, serta
meningkatkan pengawasan dan penegakan hukumnya;
2. Mencapai kesepakatan antar tingkat
pemerintahan dan mengimplementasikan pembagian wewenang dan tanggung jawab
pengelolaan hutan;
3.
Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan;
4.
Memberlakukan moratorium di kawasan tertentu;
5.
Memanfaatkan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya secara optimal.
Pembangunan
kelautan diarahkan untuk:
1. Mengelola dan mendayagunakan potensi
sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara lestari berbasis
masyarakat;
2. embangun sistem pengendalian dan
pengawasan dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, yang disertai dengan
penegakan hukum yang ketat;
3. Meningkatkan upaya konservasi laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak,
seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria;
4. Mengendalikan pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar (danau, situ,
perairan umum), dan pulau-pulau kecil;
5. Menjalin kerja sama regional dan
internasional untuk menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga;
6. Memperkuat kapasitas instrumen pendukung
pembangunan kelautan yang meliputi iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan
perundangan;
7. Meningkatkan riset dan pengembangan
teknologi kelautan;
8. Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan
laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan bekerja, dan meminimalkan resiko
terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil; dan
9. Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan
peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir,
dan pulau-pulau kecil.
Pembangunan
pertambangan dan sumber daya mineral diarahkan untuk:
1. Meningkatkan eksplorasi dalam upaya
menambah cadangan migas dan sumber daya mineral lainnya;
2. Meningkatkan eksploitasi dengan selalu
memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan, khususnya mempertimbangkan
kerusakan hutan, keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan;
3. Meningkatkan peluang usaha pertambangan
skala kecil di wilayah terpencil dengan memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan hidup;
4. Meningkatkan manfaat pertambangan dan
nilai tambah;
5. Menerapkan good mining practice di
lokasi tambang yang sudah ada;
6. Merehabilitasi kawasan bekas
pertambangan;
7. Menjamin kepastian hukum melalui
penyerasian aturan dan penegakan hukum secara konsekuen;
8. Meningkatkan pembinaan dan pengawasan
pengelolaan pertambangan;
9. Meningkatkan pelayanan dan informasi
pertambangan, termasuk informasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana
geologi;
10. Evaluasi kebijakan/ peraturan yang tidak
sesuai.
Pembangunan
lingkungan hidup diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan (mainstreaming)
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan;
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan
lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah;
3. Meningkatkan upaya harmonisasi
pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap
pencemar lingkungan;
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak
lingkungan akibat kegiatan pembangunan;
5.
Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di
tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang
bersifat akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman dan bencana;
6.
Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan
hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas
lingkungan hidup; dan
7.
Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi
kewaspadaan dini terhadap bencana.
Kebijakan Pengelolaan SDA Provinsi merupakan kebijakan
Pengelolaan SDA sebagai arahan strategis dalam pengelolaan SDA di Provinsi Jawa
Tengah, terdiri dari :
- Kebijakan umum, meliputi :
- Peningkatan koordinasi dan keterpaduan pengelolaan SDA;
- Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya terkait air;
- Peningkatan pembiayaan pengelolaan SDA;
- peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.
- Kebijakan peningkatan konservasi SDA secara terus menerus, meliputi :
- Peningkatan Upaya Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air;
- Peningkatan Upaya Pengawetan Air;
- Peningkatan Upaya Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
- Kebijakan pendayagunaan SDA untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat, meliputi :
- Peningkatan upaya penatagunaan SDA;
- Peningkatan upaya penyediaan air;
- Peningkatan upaya efisiensi penggunaan SDA;
- Peningkatan upaya pengembangan SDA;
- Pengendalian pengusahaan SDA.
- Kebijakan pengendalian daya rusak air dan pengurangan dampak, meliputi :
- Peningkatan upaya pencegahan;
- Peningkatan upaya penanggulangan;
- Peningkatan upayapemulihan.
- Kebijakan peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan SDA, meliputi :
- Perencanaan pengelolaan SDA;
- Pelaksanaan pengelolaan SDA;
- Pengawasan pengelolaan SDA;
- Kebijakan pengembangan jaringan Sistem Informasi Sumber Daya Air (SISDA) dalam pengelolaan SDA terpadu, meliputi : - peningkatan kelembagaan dan sumber daya manusia; - pengembangan jejaring sistem informasi SDA; - pengembangan teknologi informasi
3. DOMINASI SDA INDONESIA
6.
Sejak zaman Alm Presiden Soekarno, banyak perusahaan asing yang ingin
mengambil alih SDA Indonesia, namun Presiden Soekarno menolaknya, menurut dia
perusahaan asing hanyalah monopoli keuangan, kapitalisme, dan neolib. Presiden
Soekarno juga pernah menolak bantuan dari IMF yang menurut dia hanya akan
memberati keuangan negara. Soekarno percayaan dengan kemampuan rakyatnya
sendiri. Banyak perusahaan asing yang menekan kontrak dengan pemerintahan
Indonesia sejak era pemerintahan Alm Soehartom hingga sekarang (Presiden SBY)
telah mengakar di negeri ini, contoh saja Freeport, Chevron, Shell, Suzuki,
Honda, Yamaha, dll. Yang perlu di perhatikan adalah agar kepemilikan saham
asing di industri nasional tidak begitu dominan, sebab bila itu terjadi
maka perekonomian nasinal bisa pincang.
7.
Dominasi pihak asing kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor
strategis perekonomian. Pemerintah disarankan menata ulang strategi pembangunan
ekonomi agar hasilnya lebih merata dirasakan rakyat dan berdaya saing tinggi
menghadapi persaingan global. Per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6
persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari
total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi
kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru
mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15
bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan
asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi. Tak hanya perbankan, asuransi
juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di
Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau
dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar hampir
semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah
perusahaan asing. Hal itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal,
memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80
persen saham perusahaan asuransi.
8.
Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen
dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek.
Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah
diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di
sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen,
selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh
perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025. Tinggal masalah teknis.
Karena tak gampang asing dipaksa melepaskan kepemilikannya begitu saja. Jadi ya
pakai tenggat waktu yang cukup misalnya 10 tahun harus dilepas ke pihak
nasional dalam porsi tertentu. Dan mudah-mudahan di kurun waktu tersebut swasta
nasional juga sudah punya sumber keuangan yang cukup untuk membeli saham asing
tersebut.
9.
Dengan kepemilikan nasional yang lebih dari asing pada sektor-sektor
strategis, diyakini perputaran perekonomian nasional akan semakin kuat dan
baik. Kebangkitan ekonomi nasional yang diinginkan banyak orang akan
benar-benar terjadi.
Komentar
Posting Komentar